Hidayatullah.com—Kota
suci Makkah sangat sepi pada hari Senin (14/10/2013), seiring dengan
diwajibkannya seluruh jamaah haji berangkat ke Padang Arafah untuk melakukan
wukuf. Itu merupakan kesempatan emas bagi wanita-wanita Makkah untuk bisa
berlama-lama di Masjidil Haram.
Wanita Makkah biasa menyebut
malam puncak ibadah haji 9 Dzulhijjah sebagai “malam yatim”. Pasalnya selain
sepi dari jamaah, para pria nyaris tidak tampak di Masjidil Haram, sebab mereka
bertugas melayani tamu-tamu Allah di Arafah dan Muzdalifah.
“Kami bergerak bebas hari ini,
sebab tidak ada pria di sekitar sini. Banyak dari kami puasa pada hari Arafah,
lalu berbuka puasa di dalam Masjidil Haram,” kata seorang wanita Makkah yang
enggan disebutkan namanya dikutip Saudi
Gazette (15/10/2013).
Seorang wanita tua penduduk
Makkah, Aminah Zawwawi, menceritakan kebiasaan mereka ketika Masjidil Haram
sepi dari jamaah haji dan para pria.
“Kami biasanya menikmati Makkah
untuk diri kami sendiri. Kami pergi ke Masjidil Haram sebelum shalat Ashar dan
tinggal di sana sampai shalat Isya. Kami juga biasanya buka puasa di dalam
Masjidil Haram,” kata Aminah.
Sementara tidak ada suami,
saudara laki-laki atau putra mereka, wanita Makkah biasanya bersosialisasi
dengan mengunjungi kawan atau saudara.
Seusai shalat Isya, banyak perempuan
Makkah yang keluar ke jalan, mereka bermain menikmati hari itu sampai larut
malam.
“Ketika para perempuan itu
melihat ada sosok laki-laki, mereka akan membentaknya karena tidak ikut ke
Arafah untuk menjadi pelayan bagi tamu-tamu Allah,” kata Aminah.
Perempuan juga biasa memasak
hidangan spesial pada hari Arafah dan membuat beraneka macam kue untuk kemudian
diberikan secara cuma-cuma kepada para jamaah yang kembali ke Makkah di akhir
perjalanan hajinya.
“Kami juga mengenakan pakaian
istimewa dan saling bertukar hadiah saat itu,” imbuhnya.
Aminah masih ingat haji di
zaman dahulu, di mana jamaah tinggal bersama mutawif (pengurus/pembimbing
perjalanan haji) di rumah-rumah mereka, sebab tidak ada penginapan.
“Tidak ada hotel-hotel atau
apartemen lengkap dengan perabotan ketika itu, sehingga jamaah haji harus
tinggal dengan mutawif mereka, yang memberikan akomodasi dan menyediakan
makanan,” paparnya.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar